Bank BNI Digugat 1,5 Triliun, Santrawan-Hanafi: Lelang Aset Sepihak Melanggar Hukum

Foto : John Hamenda menggugat PT BNI 1946 melalui pengacaranya, Dr Santrawan Totone Paparang SH MH, ke Pengadilan Negeri (PN) Manado. 


Manado  ||  Tidak ada kerugian negara, John Hamenda dijebloskan ke penjara kasus Letter of Credit 2005 PT BNI 46. Aset tanah disita dan pelelangan sepihak John Hamenda merugi 1,5 Triliun kemudian menggugat Bank Negara Indonesia (BNI) ke Pengadilan Negeri Manado.

John Hamenda menggugat PT Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 terkait dugaan lelang dan penyitaan aset sepihak. Gugatan Hamenda itu telah didaftarkan pengacaranya, Dr Santrawan Totone Paparang SH MH, ke Pengadilan Negeri (PN) Manado, Senin (20/03/2023). Akibat peristiwa itu, penggugat mengalami kerugian material senilai kurang lebih Rp 1,5 triliun.

"Selain BNI 1946, Hamenda juga menggugat Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jaksa Agung, MAL Putong-Ekel, PT Bank Danamon dan Notaris sekaligus Pejabat Pembuat Akta Tanah, Thelma Andries SH," ungkap Pengusaha Ternama Sulut kepada wartawan, Rabu (12/07/2023).

Menurut John Hamenda, persuasif dagal, pengadilan pilIhan Terakhir. Perbuatan melawan hukum yang diduga dilakukan pihak Bank BNI dengan menyita dan memasang plang di atas tanah milik John Hamenda tepatnya di Jalan 17 Agustus Manado, Provinsi Sulawesi Utara.

Gugatan John Hamenda yang merugi Rp 1,5 Triliun, bersama Kuasa Hukum DR Santrawan Paparang SH, MH, MKn dan Hanafi Saleh SH, didaftarkan gugatan tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Manado pada 23 Maret 2023.

Dalam kasus Letter of Credit 2005 PT BNI 1946 pada sidang tahun 2005 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menurut hakim, John Hamenda disebutkan tidak terlibat merugikan negara hingga dirinya dijebloskan ke dalam penjara dan telah selesau menjalani hukuman badan bersama dua pelaku utama Merrie Paulina Lumowa dan Adrian Waworuntu.

"Ada apa dibalik kasus Letter of Credit 2005 PT BNI 46. Yang saya lakukan tidak ada kerugian negara," pungkasnya.

Hamenda melalui rilisnya menuliskan kalau penjualan aset miliknya sangatlah keliru karena tidak ada sangkut pautnya dengan hasil kejahatan. Menurut dia, aset miliknya itu diperoleh jauh sebelum kasus hukum yang menjerat dirinya.

Anehnya lagi kata dia, dua bidang tanah di Jalan 17 Agustus dan di Kecamatan Malalayang, yang diblokir BNI, tidak pernah menjaminkan ke BNI 1946. Terbukti katanya sertifikat kedua tanah tersebut masih ada pada dirinya.

"Akibat pemblokiran itu saya mengalami kerugian senilai satu setengah triliun rupiah. Kalau tidak pemblokiran sertifikat, kenapa BNI mengajukan permohonan ke BPN untuk memblokir sertifikat tanah milik saya," ujarnya.

Lebih aneh lagi kata Hamenda, pemblokiran tanah tidak menyebutkan nomor sertifikat, gambar disertai batas-batas utara, timur selatan dan barat. Dengan demikian apa yang dilakukan BNI 1946 jelas-jelas melawan hukum.

"Kita buka lagi kasusnya biar semuanya jelas dan terang-benderang. Putusan hakim ini adalah non executable berkekuatan hukum tetapi tidak dapat di eksekusi karena error in objekto, karena beberapa alasan antara lain salah terhadap objek," tegasnya. 

Kemudian, lanjut Hamenda, terkait gugatan perdatanya di Pengadilan Negeri (PN) Manado sudah 20 tahun Hamenda bersikap sabar atas apa yang dialaminya. 

Meski bayang-bayang kekelaman penjara sangat jelas dalam ingatannya, namun hukuman itu tak membuat John Hamenda mengurungkan niatnya untuk maju.

Baginya, penjara bukanlah halangan untuk terus berbuat kebaikan. Pengusaha asal sulut ini bertekat untuk mendulang kembali kesuksesan yang lama ditinggalkannya.

Namun tekatnya itu untuk sementara pupus lantaran terganjal aset yang disita negara secara diam-diam, saat dirinya mendekam selama bertahun-tahun dalam penjara.

”Sudah lama saya mengalami pembunuhan karakter yang dilakukan pihak BNI dan oknum-oknum di BPN, sangat merugikan saya sebagai pengusaha dan keluarga besar kami,” bebernya.

Pengusaha asal Sulut ini mengakui telah berupaya untuk melakukan pendekatan secara presuasif tapi tak membuahkan hasil.

“Jadi akhirnya jalan pengadilan harus ditempuh. Ini merupakan pilihan terakhir saya,” tandasnaya.

Sementara pengacara John Hamenda, DR Santrawan Totone Paparang SH, MH, MKn, membenarkan kalau gugatan tersebut tidak lepas dari perbuatan melawan hukum dan error in objecto tanah milik penggugat yang disita turut tergugat satu berikut yang termuat dalam requisitoir.

Begitu juga dengan tergugat dua yang termuat dalam amar putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan (Jaksel) Nomor 1002/Pid.B/2004/PN.Jkt.Selatan, tertanggal 4 November 4002 junto putusan Pengadilan inggi (PT) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Nomor 177/Pid/2004/PT.DKI, tertanggal 1 Februari 2005, junto putusam mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, Nomor 660 K/Pid/2005 tertanggal 31 Mei 2005. 

Tuntutan yang dia perjuangkan bersama tim kuasa hukumnya, selama 20 tahun usaha John Hamenda hancur dan nama baiknya ikut lebur karena stigma yang tidak baik.

Pria berpenampilan sederhana itu berbicara banyak tentang masalah yang menimpanya. Dikatakan, banyak kertidakadilan yang dia rasakan semasa dirinya menjalani proses hukuman.

Dia merasa tindakan yang dilakukan negara ada beberapa diantaranya tidak adil. John Hamenda adalah korban pemiskinan dan aset yang saya miliki John Hamenda jauh sebelum kasus Letter of Credit 2005 PT BNI 1946.

Herannya lagi, Hamenda telah berupaya menjelaskan kalau aset miliknya tidak ada sangkut pautnya dengan perkara tersebut. Namun begitu dirinya sadar betapa sulitnya untuk meyakinkan ke pihak penyidik (kepolisian dan kejaksaan-red), kalau aset miliknya merupakan hasil kerja keras selama bertahun tahun.

"Dalam putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum tidak ada kerugian negara," tuturnya.

John Hamenda juga pernah bersurat menanyakan apakah mempunyai kewajiban hutang ke BNI dan jawaban dari surat tersebut bahwa rekening sudah ditutup. Jawaban surat "out of context".

"John Hamenda pernah melayangkan surat ke BNI dan telah dijawab bahwa rekening sudah ditutup," jelasnya.

Hanafi Saleh SH yang juga salah satu kuasa hukum John Hamenda melihat dari dampak yang dimunculkan dibalik pemasangan plang BNI di atas lahan/tanah milik Hamenda, di jalan 17 Agustus.

"Kami melakukan upaya hukum lewat kantor pengadilan Negeri Manado. "Biarlah hukum menemukan jalannya sendiri". Salah dikatakan salah dan benar katakan benar," tukasnya. 

Terparah adalah hilangnya aset milik John Hamenda dan mencontohkan beberapa pabrik dan tanah yang dilelang untuk menutupi utangnya ke BNI, senilai miliaran rupiah.

"Mestinya dalam proses lelang, jumlah uangnya harus sama dengan utangnya. Sebaliknya jika hasil lelang ada kelebihan dana, mestinya dikembalikan kepada kepadanya," katanya lagi.

Kenyataannya yang terjadi menurut Hanafi Saleh SH, tidaklah demikian. Bahkan kata dia, BNI terkesan tutup mata dengan berapa jumlah uang yang diperoleh dari hasil lelang. Dia juga menegaskan cukup banyak kekeliruan bahkan kejanggalan dan hingga sekarang tidak ada penjelasannya.

"Lebih heran lagi pabrik dan tanah yang dilelang tidak menyertakan sertifikat. Buktinya sertifikat itu masih ada pada John Hamenda. Kalau sudah begini apa itu bukan suatu pelanggaran hukum," kata kuasa hukum Santrawan Paparang.

Dan yang mengejutkan lagi, aset tanah yang beralamatkan di Jalan 17 Agustus juga telah disita. Mengganjalnya masalah itu, BNI mengklaim kalau tanah yang disita seluas empat ribu meter persegi. "Sementara pada sertifikat milik John Hamenda hanya tiga ribuan meter persegi," ucapnya.

“Kami bersyukur kepada Tuhan karena masih diberikan umur panjang serta kesehatan kepada Bapak John Hamenda sampai saat ini. Tuhan sungguh baik dan maha mendengar jeritan serta Doa-doa orang yang dizolimi,” pungkas Santrawan Paparang.

”Kami melihat sudah jelas Bapak John Hamenda dizolimi dan kami yakin langkah yang diambil sudah tepat,” kata Hanafi.

Kedua kuasa hukum ini berkeyakinan lembaga pengadilan yang akan mengadili gugatan terhadap PT BNI 1946 tersebut dapat memutuskan se adil-adilnya.

Ditambahkanya, awalnya perkara ini akan sidang perdana pada 3 Mei, tapi tertunda dan akan digelar 25 Mei mendatang.

”Substansi sudah salah. Ada error in objecto dibalik pemasangan plang oleh PT BNI 1946. Sertifikat tanah masih di tangan pak John Hamenda. Luas tanahnya berbeda dan lokasi tidak akurat," ungkap dosen hukum di Universitas Jaya Baya Jakarta ini.

Celah lain yang dikejar kedua kuasa hukum ini adalah tidak ada eksekusi serta berita acara penyerahan dari jaksa selaku eksekutor negara soal tanah dimaksud.

”itu yang kita kejar. Tanah itu jauh sebelum Letter of Credit 2005 PT BNI 1946 sudah milik pak John Hamenda,” tegas kedua pengacara senior ini.


[tsn run]

Share on Google Plus

About GROUP MEDIA KOMPAS7

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 التعليقات:

Posting Komentar